Peraturan Perundang-undangan Tentang Pemilihan Umum UU No.10 Tahun 2008 dan UU No.15 Tahun 2011
BAB |
UNDANG – UNDANG NO. 10 TAHUN 2008
TENTANG
PEMILU DPR, DPRD, DPD
|
PENJELASAN |
1
|
KETENTUAN UMUM
|
Pada bab
ini sebagian besar membahas tentang pengertian-pengertian dari beberapa hal
yang terkait dengan pemilihan umum. Contohnya yaitu pengertian BPP DPR. Di
dalam Undang-Undang ini menjelaskan bahwa ambang batas sebesar 2,5% dari
suara sah secara nasional di satu daerah pemilihan. Dengan PT sebesar 2,5%
persen bisa merugikan partai besar karena partai kecil bisa masuk dengan
mudah walaupun sebenarnya memiliki perolehan suara yang lebih kecil
dibandingkan dengan partai besar.
Partai kecil bisa memperoleh kursi yang sama besarnya dengan partai
besar yang berada di urutan tiga atau empat. Sehingga merugkan partai
tersebut yang sebenarnya memiliki perolehan suara yang lebih besar
dibandingkan dengan partai kecil. Jika partai kecil bisa masuk dengan mudah
belum tentu juga partai tersebut bisa menjalankan fungsi pemerintahan dengan
baik. Sehingga dikhawatirkan akan sedikit mengacaukan jalannya pemerintahan.
|
2
|
ASAS,
PELAKSANAAN, DAN LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU
|
Bab II ini menjelaskan bahwa pemilu
menggunakan asas LUBER JURDIL. Selain itu juga menjelaskan tentang tahapan
penyelenggaraan pemilu. Untuk pemilu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota mengunakan system proporsional terbuka. Sedangkan pemilu DPD
menggunakan system distrik berwakil banyak. Penggunaan system proprsional
terbuka lebih bagus dibandingkan dengan system tertutup karena rakyat bisa
memilih calon sesuai kehendak hati dibandingkan dengan system tertutup yang
calonnya ditentukan dari partai. Sedangkan pemilu di DPD dengan system
berwakil banyak akan membingungkan masyarakat untuk memilih calon mana yang
baik untuk mewakilinya karena jumlah calonnya banyak. Tetapi system ini juga
memiliki kelebihan bahwa dengan adanya wakil banyak akan membuat para calon
ini bersaing dengan ketat untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat
sehingga penilu ini akan mendapatkan seorang wakil yang bisa bekerja dengan
baik di pemerintahan.
Masalah penting selain hal yang telah
disebutkan diatas juga ada masalah yang tak kalah penting yaitu tentang masa
kampanye. Parpol peserta pemilu tidak bleh melaksanakan kampanye sebelum masa
kampanye dan juga pada saat masa tenang. Pada saat kampanye parpol peserta
juga tidak boleh menggunakan money politic untuk mendapatkan simpati
masyarakat. Semua hal teersebut tidak boleh dilaksanakan karena melanggar
peraturan yang telah ditetapkan.
|
3
|
PESERTA DAN
PERSYARATAN PEMILU
|
Pada
bab ini menjelaskan bahwa peserta pemilu harus mengundurkan diri dari PNS,
BUMN/BUMD, TNI, keanggotaan kepolisian, serta badan lain yang anggarannya
bersumber dari keuangan Negara. Selain itu juga tidak boleh berpraktik
sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, PPAT, dan tidak melakukan
pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan Negara.
Peserta pemilu juga tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat Negara
lainnya. Karena semua peserta pemilu harus bersifat netral agar tidak terjadi
diskriminasi dalam menjalankan fungsi kepemerintahan. Apabila hal tersebut
tidak dibedakan maka urusan pribadi, politik maupun pemerintahan akan
menumpuk menjadi satu dan pelaksanaa pemerintahan tidak akan berjalan efektif
dan efisien.
|
4
|
HAK MEMILIH
|
Bab IV ini
menjelaskan tentang hak memilih untuk pemilih. Orang yang dianggap sah
sebagai pemilih yaitu WNI yang berumur 17 (tahun) atau lebih atau
sudah/pernah kawin. Pada usia 17 tahun keatas memang sudah bisa dikatakan
dewasa sehingga bisa menilai mana calon yang baik utnuk mewakilinya di
pemerintahan nanti. Akan tetapi terkadang di Indonesia masih ada masyarakat
yang belum genap berusia 17 tahun tapi sudah menikah. Pada usia di bawah 17
tahun merupakan usia di mana seseorang masih labil dalam menentukan sebuah
keptusan. Jadi WNI yang usianya di bawah 17 tahun dan sudah/pernah menikah
akan mudah terpengaruh dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga
asas-asas pemilu pun tidak bisa dijalankan dengan benar.
|
5
|
JUMLAH
KURSI DAN DAERAH PILIHAN
|
Dalam Bab V (lima) ini terdapat empat bagian utama, yaitu : Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan
Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota dan Daerah Pemilihan Anggota DPD.
Dimana Jumlah kursi yang ditetapkan anggota DPR sebanyak 560, untuk Jumlah kursi DPRD provinsi ditetapkan paling
sedikit 35 dan paling banyak 100, Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditetapkan
paling sedikit 20 dan paling banyak 50, Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap
provinsi ditetapkan 4
|
6
|
PENYUSUNAN
DAFTAR PEMILIH
|
Dalam
Bab VI (enam) ini membahas mengenai
Penyusunan Daftar Pemilih. Dimana yang terdiri dari 8 bagian yakni: membahas
mengenai Data Kependudukan, membahas mengenai Daftar Pemilih. Dimana KPU
kabupaten/Kota dibantu oleh PPS melakukan penyusunan daftar pemilih, Pemutakhiran Data Pemilih. Dimana
pemutakhiran data pemilih diselesaikan paling lambat 3 bulan setelah diterimanya data
kependudukan, Penyusunan Daftar Pemilih Sementara, Penyusunan Daftar Pemilih
Tetap, Penyusunan Daftar pemilih bagi Pemilih di Luar Negeri, Rekapiltulasi
Daftar Pemilih Tetap serta Pengawasan dan Penyelesaian Perselisihan dalam
Pemutakhiran Data dan Penetapan Daftar Pemilih..
|
7
|
PENCALONAN
ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI DAN DPRD KABUPATEN/KOTA
|
Pada
Bab VII (tujuh) ini membahas mengenai Persyaratan Bakal Calon Anggota DPRD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, Tata Cara Pengajuan Bakal Calon, Verfikasi
Kelengkapan Administrasi Bakal Calon, Pengawasan atas Verifikasi Kelengkapan
Administrasi Bakal Calon, Penyusunan Daftar Calon Sementara, Penetapan dan
Pengumuman Daftar Calon Tetap, Tata Cara Pendaftaran Bakal Calon Anggota DPD,
Verifikasi Kelengkapan Administrasi, Pengawasan atas Verifikasi Kelengkapan
Administrasi, Penetapan Daftar Calon Sementara serta membahas Penetapan dan
Pengumuman Daftar Calon Tetap.
|
8
|
KAMPANYE
|
Membahas
mengenai Kampanye Pemilu yang dilakukan Badan Legislatif, yakni DPR, DPD,
DPRD tingkat Provinsi, DPRD tingkat Kabupaten/Kota. Dalam bab ini mengusung
kegiatan-kegiatan yang dilakukan sewaktu mengikuti Kampanye Pemilu (Materi
Kampanye, Metode, Larangan dan sanksi kampanye dll). pelaksanaan Kampanye
Pemilu Nasional yang diatur dengan peraturan KPU (Komisi Pemilihan Umum).
|
9
|
PERLENGKAPAN PEMUNGUTAN
SUARA
|
Dalam bab ini, dibahas pada perlengkapan Pemungutan Suara seperti
kotak suara , tinta, bilik, segel, alat untuk pemberi tanda pilihan,tempat
pemungutan suara yang mana KPU bertanggung jawab dalam merencanakan dan menetapkan standar serta
kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara.
|
10
|
PEMUNGUTAN SUARA
|
Dalam
bab ini dibahas mengenai pemungutan suara pemilihan yang pesertanya adalah
semua masyarakat Indonesia yang memiliki hak untuk memilih serta sudah
memiliki ketentuan-ketentuan untuk memilih selain itu pada bab ini juga
menjelaskan ketentuan yang mendukung TPS dalam pemungutan suara dan apa yang
harus dilakukan oleh KPPS
|
11
|
PENGHITUNGAN SUARA
|
Dalam bab ini
membahas tentang Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS
dilaksanakan oleh KPPS sesuai dengan aturan yang terdapat dalam UU. Dalam
penghitungan suara ada beberapa tahapan yang dilakukan oleh KPU, dimulai dari
rekapitulasi suara di kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga tingkat
nasional. Selain melakukan penghitungan suara, dalam bab IX juga dijelaskan
tentang pengawasan
dan sanksi dalam penghitungan suara dan rekapitulasi. Pengawasan
dilakukan oleh Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu
kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, dan Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas
Pemilu Luar Negeri. Hal ini dilakukan
terhadap kemungkinan adanya pelanggaran, oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU
kabupaten/kota, PPK/PPLN, PPS, dan KPPS/KPPSLN dalam melakukan rekapitulasi
penghitungan perolehan suara. Anggota KPU
yang melakukan pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dikenai tindakan
hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
|
12
|
PENETAPAN HASIL PEMILU |
Penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan oleh KPU. Penetapan hasil suara pemilu
ditentukan oleh KPU dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi
peserta pemilu dan pengawas pemilu. Untuk memperoleh kursi di parlemen harus
mencapai nilai ambang batas yang telah ditentukan.
|
13
|
PENETAPAN
PEROLEHAN KURSI & CALON TERPILIH
|
Perolehan
kursi Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan oleh KPU. Penentuan perolehan jumlah kursi didasarkan atas
hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Peserta
Pemilu. Kemudian ditentukan BPP serta konversi suara agar
dapat memperoleh kursi di parlemen. Dalam penetapan calon terpilih harus
memperoleh suara 30 % dari BPP.
|
14
|
PEMBERITAHUAN
CALON TERPILIH
|
Pemberitahuan
calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan
setelah ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
Disampaikan secara tertulis kepada pengurus Partai Politik Peserta Pemilu
sesuai dengan tingkatannya dengan tembusan kepada calon terpilih yang
bersangkutan.
Pemberitahuan
calon terpilih anggota DPD dilakukan setelah ditetapkan oleh
KPU.
Disampaikan secara tertulis kepada calon terpilih anggota DPD yang memperoleh
suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat dengan tembusan kepada
gubernur dan KPU provinsi yang bersangkutan.
|
15
|
PENGGANTIAN
CALON TERPILIH
|
Penggantian
calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan:
a. meninggal
dunia;
b. mengundurkan
diri;
c. tidak lagi
memenuhi syarat untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD
kabupaten/kota;
d. terbukti
melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d telah ditetapkan dengan keputusan
KPU, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota, keputusan penetapan yang
bersangkutan batal demi hukum.
Pada ayat (1) diganti dengan calon dari daftar calon tetap
Partai Politik Peserta Pemilu pada daerah pemilihan yang sama berdasarkan
surat keputusan pimpinan partai politik yang bersangkutan.
Calon terpilih anggota DPD diganti dengan calon yang memperoleh
suara terbanyak berikutnya. KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota
menetapkan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
sebagai calon terpilih pengganti
dengan keputusan KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota.
|
16
|
PEMUNGUTAN
SUARA ULANG, PENGHITUNGAN SUARA ULANG,
DAN
REKAPITULASI SUARA ULANG
|
Bagian Kesatu
Pemungutan
Suara Ulang
Pemungutan
suara di TPS dapat diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan
yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau
penghitungan suara tidak dapat dilakukan. Pemungutan suara di TPS wajib
diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas Pemilu
Lapangan terbukti terdapat keadaan sebagai berikut:
a. pembukaan
kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan
suara tidak
dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan
b. petugas
KPPS meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan
nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan
c. petugas
KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih
sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah.
Pemungutan
suara ulang diusulkan oleh KPPS dengan menyebutkan keadaan yang menyebabkan
diadakannya pemungutan suara ulang. Usul KPPS diteruskan kepada PPK untuk
selanjutnya diajukan kepada KPU kabupaten/kota untuk pengambilan keputusan
diadakannya pemungutan suara ulang.
Pemungutan suara ulang di TPS dilaksanakan paling lama 10 (sepuluh)
hari setelah hari/tanggal pemungutan suara berdasarkan keputusan PPK.
Bagian Kedua
Penghitungan
Suara Ulang
dan
Rekapitulasi Suara Ulang
Penghitungan
suara ulang berupa penghitungan ulang surat suara di TPS, penghitungan suara
ulang di PPK, dan rekapitulasi suara ulang di PPK, di KPU kabupaten/kota, dan di KPU provinsi.
Penghitungan
suara di TPS dapat diulang apabila terjadi hal sebagai berikut:
a.
kerusuhan yang mengakibatkan penghitungan suara
tidak dapat dilanjutkan;
b.
penghitungan suara dilakukan secara tertutup;
c.
penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang
terang atau yang
d.
kurang mendapat penerangan cahaya;
e.
penghitungan suara dilakukan dengan suara yang
kurang jelas;
f.
penghitungan suara dicatat dengan tulisan yang
kurang jelas;
g.
saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan,
dan warga
h.
masyarakat tidak dapat menyaksikan proses
penghitungan suara secara
i.
jelas;
j.
penghitungan suara dilakukan di tempat lain di
luar tempat dan waktu
k.
yang telah ditentukan; dan/atau
l.
terjadi ketidakkonsistenan dalam menentukan surat
suara yang sah dan
m.
surat suara yang tidak sah.
Dalam hal terjadi keadaan saksi
Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan dapat mengusulkan penghitungan
ulang surat suara di TPS yang bersangkutan. Penghitungan ulang surat suara di
TPS harus dilaksanakan dan selesai pada hari/tanggal yang sama dengan
hari/tanggal pemungutan suara.
Rekapitulasi
hasil penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi dapat
diulang apabila terjadi keadaan sebagai berikut:
a. kerusuhan
yang mengakibatkan rekapitulasi hasil penghitungan suara tidak dapat
dilanjutkan;
b.
rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan secara tertutup;
c.
rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang terang atau
kurang mendapatkan penerangan cahaya;
d.
rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan dengan suara yang kurang jelas;
e.
rekapitulasi hasil penghitungan suara dicatat dengan tulisan yang kurang
jelas;
f. saksi
Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, pemantau Pemilu, dan warga
masyarakat tidak dapat menyaksikan proses rekapitulasi hasil penghitungan
suara secara jelas; dan/atau
g.
rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat
dan waktu yang telah ditentukan.
Saksi
peserta Pemilu atau Panwaslu kecamatan, Panwaslu kabupaten/kota, dan Panwaslu
provinsi dapat mengusulkan untuk dilaksanakan rekapitulasi hasil penghitungan
suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi yang bersangkutan.
Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU
provinsi harus dilaksanakan dan selesai pada hari/tanggal pelaksanaan
rekapitulasi.
|
17
|
PEMILU LANJUTAN DAN PEMILU SUSULAN
|
Pada bab ini menyebutkan tentang
adanya pemilu lanjutan atau pemilu susulan yang dilakukan apabila terjadinya
kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya di 40%
jumlah provinsi yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilu
tidak dapat dilaksanakan atau 50% dari
jumlah pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk
memilih. Pemilu lanjutan atau pemilu susulan ini dapat dilakukan setelah
adanya penetapan penundaan pelaksaan pemilu dari Presiden atas usul KPU.
Waktu yang ditetapkan dalam
menyelenggarakan pemilu lanjutan atau pemilu susulan ini perlu memperhatikan
keadaan secara matang dimana dalam menjalankan kegiatan pemilu diperlukan
lingkungan atau keadaan sekitar yang steril dan stabil agar tahapan dalam
penyelenggaraan pemilu dapat dilakukan secara keseluruhan dengan baik dan
berjalan sesuai dengan ketetapan yang berlaku.
|
18
|
PEMANTAUAN PEMILU
|
Pada bab ini, secara garis besar
menyebutkan tentang pemantauan pemilu yang berarti berlangsungnya
kegiatan pemilu akan dipantau atau diawasi oleh pemantau pemilu sesuai dengan
cakupan wilayah pemantauannya. Pemantau pemilu melakukan pemantauan pada satu
daerah pemantauan sesuai dengan rencana pemantauan yang telah diajukan kepada
KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota. Adapun lembaga maupun tokoh yang
berperan sebagai pemantau dalam penyelenggaraan pemilu meliputi Lembaga
Swadaya masyarakat (LSM), pemantau pemilu dalam negeri, badan hukum dalam
negeri, lembaga pemantau pemilihan dari luar negeri dan perwakilan negara
sahabat di Indonesia. Pada bab ini juga menyebutkan tentang beberapa bagian
lainnya, yaitu Persyaratan dan Tata Cara Menjadi Pemantau Pemilu, Wilayah
Kerja Pemantau Pemilu, Tanda Pengenal Pemantau Pemilu, Hak dan Kewajiban
Pemantau Pemilu, Larangan bagi Pemantau Pemilu, Sanksi bagi Pemantau Pemilu,
Pelaksanaan Pemantauan.
Secara keseluruhan, dalam menjalankan
perannya sebagai pemantau pemilu yang mengemban tugas untuk mengawasi dan
memantau berlangsungnya penyelenggaraan pemilu diwajibkan untuk mengikuti
ketentuan dan peraturan yang telah diterbitkan oleh KPU dan tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh para pemantau pemilu juga atas izin dari KPU.
Ditinjau dari aspek normatif, adanya
pemantauan pemilu pada penyelenggaraan pemilu ditujukan agar berlansungnya
penyelenggaraan pemilu dapat dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan oleh KPU dan sesuai dengan Undang-Undang terkait. Selain itu,
disamping ditinjau dari aspek normatif adanya pemantauan pemilu juga memiliki
fungsi untuk mencegah terjadinya kecurangan-kecurangan dalam pemilu.
|
19
|
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU
|
Pada bab ini
menyebutkan tentang partisipasi masyarakat dalam pemilu. Partispasi masyarakat sangatlah diperlukan
bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut sistem demokrasi, salah
satunya adalah ikut serta dalam kegiatan penyelenggarakan pemilu. Bentuk konkrit
partisipasi masyarkat dalam penyelenggaraan pemilu adalah dalam bentuk
sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak
pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil Pemilu. Pelaksaan
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu wajib mengikuti ketentuan
yang diatur oleh KPU.
Adanya partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemilu juga dapat membantu Warga Negara Indonesia dalam
menentukan pilihan ketika terlaksananya pemilu agar dapat memilih pemimpin yang berkompeten guna
mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, memenuhi kebutuhan
masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
|
20
|
PENYELESAIAN PELANGGARAN PEMILU DAN PERSELISIHAN PEMILU |
· Bagian Kesatu: Berkaitan dengan penanganan laporan pelanggaran pemilu. Bawaslu, Panwaslu provinsi,
Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan
Pengawas Pemilu Luar Negeri menerima laporan pelanggaran pemilu pada setiap
tahapan penyelenggaraan pemilu.Kemudian laporan diteruskan kepada KPU, KPU
provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
·
Bagian Kedua: Berkaitan
dengan perselisihan tentang
hasil pemilu. Yaitu perselisihan antara KPU dan peserta
pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional.
|
21
|
KETENTUAN
PIDANA
|
Berisikan
sanksi bagi yang melakukan pelanggaran pidana mulai dari hukuman penjara dan
denda. Dengan ketentuan denda paling sedikit 3.000.000,00 (Tiga juta rupiah)
dan Pidan penjara paling sedikit 3 bulan dan maksimal 120 bulan.
|
22
|
KETENTUAN LAIN – LAIN
|
Menjelaskan
mengenai ketentuan-ketentuan lain yang harus dipatuhi dalam pemilihan.Antara
lain adalah mengenai keikutsertaan partai politik
lokal di Aceh dalam Pemilu anggota DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota, Hasil perolehan suara dari pemilih di luar
negeri dimasukkan sebagai perolehan suara untuk daerah pemilihan Provinsi DKI
Jakarta II, daerah pemilihan DPRD
provinsi disesuaikan dengan perubahan daerah pemilihan anggota DPR,
penyesuaian perubahan daerah pemilihan (ayat satu) ditetapkan dengan
peraturan KPU.
|
23
|
KETENTUAN PERALIHAN |
Pada bab ini
dijelaskan bahwa partai politik yang ditetapkan sebagaipeserta pemilu setelah
tahun 2004 adalah partai politik peserta pemilu tahun 2004 yang memperoleh
sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi di DPR, atau sekurang-kurangnya 4% jumlah
kursi di DPRD yang tersebar di seluruh provinsi sekurang-kurangnya disetengah
jumlah provinsi di Indonesia, atau memperoleh 4% jumlah kursi DPRD di
kabupaten/kota yang sekurang-kurangnya tersebar di setengah jumlah
kabupaten/kota di Indonesia.
Jika partai politik tidak memenuhi
syarat-syarat di atas, partai politik tersebut masih dapat mengikuti pemilu
2009 dengan ketentuan bergabung pada parpol peserta pemilu yang memenuhi
syarat di atas tersebut, bergabung pada parpol yang tidak memenuhi syarat
selanjutnya menggunakan lambang atau gambar pada salah satu parpol tersebut
sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi, atau dengan bergabung pada
parpol yang tidak memenuhi syarat kemudian membentu parpol dengan nama, tanda
gambar, dan lambang baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi,
atau bisa juga dengan memiliki kursi di DPR RI hasil pemilu 2004, atau
memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU sebagaimana yang ditentukan dalam
undang-undang. Pada tahun 2009, anggota TNI/Polri tidak menggunakan haknya
untuk memilih.
|
24
|
KETENTUAN PENUTUP |
Dengan
berlakunya undang-undang ini, undang-undang nomor 12 tahun 2003 tentang
pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah terakhir dengan
undang-undang nomor 1 tahun 2006 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, dan
undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
Analisis
:
Terdapat
4 (empat) isu krusial yang diperdebatkan dalam proses revisi UU No.10
- Sistem Pemilu
Di
usulkannya Centre for Electoral Reform sebagai sistem pemilihan yang jauh lebih sederhana, yakni
sistem Mixed Member Proportional (MMP) atau proporsional campuran.
Sistem ini berupaya memadukan kelebihan sistem proporsional dan sistem
mayoritarian. Calon dinominasikan melalui dua jalur, yakni jalur distrik dan
jalur daftar.
- Parlementary Threshold (PT)
Adanya perubahan batas minimal atau ambang
batas dari 2,5% menjadi 3,5% pada pemilu 2014
a. Dampak Negatif :
Tingginya
ambang batas maka semakin sulit untuk mewujudkan proposional dalam penghitungan
jumalah suara maupun kursi di DPR,
hanya menguntungkan partai besar dan partai
kecil hanya menjadi korban diskriminasi dari partai besar,
banyak suara yang akan terbuang sehingga
dapat merugikan pemilih dan sulit untuk mewujudkan pemerintahan yang baik.
b. Dampak Positif :
dapat mengarahkan pada penyederhanaan partai
di parlemen sehingga dapat menguatkan posisi pemerintahan
mempertahankan posisi dan kekuasaan partai
besar di parlemen
- Alokasi Kursi di Daerah Pemilihan
Dalam
sistem proporsional campuran, tata cara pemilih dalam memberikan suara akan
sama seperti halnya pemilu 2009. Selain memilih partai, pemilih juga tetap
memilih calon legislatif. Hanya saja, luasan dapil akan menjadi lebih sempit
dibanding sekarang.
- Metode penghitungan suara
Berpotensi
mengulang kerumitan perhitungan suara dan konversi suara di daerah pemilihan
seperti pada pemilu 2009. Pada pemilu 2009 banyak provinsi yang kursinya
kurang. Hal ini sama saja mencederai hak penduduk. bertentangan dengan Pasal 27
ayat 1 UUD 1945 .
BAB
|
UNDANG - UNDANG NO.15 TAHUN 2011
TENTANG
PENYELENGGARA PEMILU |
PENJELASAN
|
I
|
KETENTUAN UMUM
|
Pada bab ini dijelaskan bahwa
Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang
diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu dilakukan untuk memilih
anggota DPR, DPD, DPRD tingkat Provinsi,
dan DPRD tingkat kabupaten/kota.
Dalam pelaksanaan pemilu, terdapat
penyelenggara Pemilu atau lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri
atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (BPP) sebagai satu
kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. KPU sendiri merupakan lembaga
Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas
melaksanakan Pemilu, sementara BPP merupakan lembaga penyelenggara Pemilu
yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Terdapat juga Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu, selanjutnya disingkat DKPP, yang merupakan sebuah lembaga yang
bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan
satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.
|
II
|
ASAS
PENYELENGGARAAN PEMILU
|
Dalam UU No.15 Tahun 2011 dijelaskan bahwa terdapat beberapa pedoman
yang dijadikan sebagai asas dalam penyelenggaraan pemilu, yaitu
1.
Mandiri
2.
Jujur
3.
Adil
4.
Kepastian hukum
5.
Tertib
6.
Kepentingan umum
7.
Keterbukaan
8.
Proporsionalitas
9.
Profesionalitas
10.
Akuntabilitas
11.
Efisiensi
12.
Efektivitas
|
III
|
KPU
|
KPU bertugas
menyelenggarakan pemilu meliputi seluruh wilayah negara kesatuan republik
indonesia secara berkesinambungan dan bebas dari pengaruh pihak manapun
berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
Kedudukan
KPU ada 3 :
1.
KPU pusat berkedudukan di ibu kota
negara RI
2.
KPU provinsi berkedudukan di ibu kota
provinsi
3.
KPU kabupaten/kota berkedudukan di ibu
kota kabupaten/kota
Susunan organisasi KPU ini
bersifat hierarkis dan dalam menjalankan tugasnya setiap KPU dibantu oleh
sekretariat dengan jumlah anggota KPU pusat sebanyak 7 orang, KPU propinsi
sebanyak 5 orang, KPU kabupaten/kota sebanyak 5 orang. Dengan ketentuan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % dan masa keanggotaannya selama
5 tahun.
|
IV
|
PENGAWAS
PEMILU
|
Pengawas penyelenggaraan pemilu
dilakukan oleh bawaslu, bawaslu propinsi, panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan, pengawas pemilu lapangan dan pengawas pemilu luar negeri. bawaslu
dan bawaslu propinsi bersifat tetap, sedangkan panwaslu kabupaten/kota,
panwaslu kecamatan, pengawas pemilu lapangan dan pengawas pemilu luar negeri
bersifat adhoc yang dibentuk paling lambat 1 bulan sebelum tahapan pertama
penyelenggaraan pemilu dimulai dan berakhir paling lambat 2 bulan setelah
pemilu selesai.
Bawaslu berkedudukan di ibukota negara,
bawaslu propinsi berkedudukan di ibukota propinsi, panwaslu kabupaten/kota
berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, panwaslu kecamatan berkedudukan di
ibukota kecamatan, pengawas pemilu lapangan berkedudukan di desa atau nama
lain/kelurahan, pengawas pemilu luar negeri berkedudukan di kantor perwakilan
republik indonesia.
Keanggotaan badan pengawas pemilu
terdiri atas individu yang memiliki kemampuan pengawasan penyelenggaraan
pemilu. Jumlah anggota dari pengawas pemilu adalah
a. Bawaslu
sebanyak 5 orang
b. Bawaslu
propinsi sebanyak 3 orang
c. Panwaslu
kabupaten/kota sebanyak 3 orang
d. Panwaslu
kecamatansebanyak 3 orang
Jumlah anggota pengawas pemilu lapangan di setiap desa atau nama
lain/kelurahan paling sedikit 1 orang dan paling banyak 5 orang tergantung
kondisi geografis.
|
V
|
DKPP (DEWAN
KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU)
|
Pembentukan
DKPP ditetapkan dengan Keputusan Presiden. DKPP sebagai penyusun kode etik
untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota. Sekaligus
juga untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh seluruh anggota penyelenggara
pemilu di setiap tingkatan pemerintahan.
|
VI
|
KEUANGAN
|
Pendanaan
penyelenggaraan dan pengawasan pemilu anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan
Wapres wajib dianggarkan dalam APBN, sekaligus anggaran belanja penyelenggara
pemilu. Sedangkan, pendanaan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati dan
walikota wajib dianggarkan dalam APBD.
Anggaran belanja penyelenggara pemilu dikoordinasikan oleh Sekretaris
Jenderal KPU dan Bawaslu yang dilaksanakan oleh perangkat kerjanya
masing-masing. Dan. Kedua anggaran tersebut wajib dicairkan sesuai dengan
tahapan penyelenggaraan Pemilu.
Kedudukan
keuangan anggota penyelenggara pemilu, baik APBN maupun APBD diatur dalam
Peraturan Presiden.
|
VII
|
PERATURAN DAN
KEPUTUSAN PENYELENGGARA PEMILU
|
Pada
penyelenggaraan Pemilu, baik KPU maupun Bawaslu membentuk peraturan
KPU/Bawaslu dan keputusan KPU/Bawaslu. Sekaligus DKKP membentuk peraturan
DKPP dan keputusan DKPP Untuk menjalankan tugas dan fungsi dalam penegakan
kode etik Penyelenggara Pemilu. Kemudian, Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan
Pedoman Tata Laksana Penyelenggaraan Pemilu dibentuk dalam peraturan bersama
antara KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Keempat
peaturan dan keputusan tersebut, ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR
dan Pemerintah.
|
VIII
|
Ketentuan
lain-lain
|
Dalam
hal undang-undang mengenai penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan gubernur, bupati, dan
walikota mengatur secara berbeda yang berkaitan dengan tugas Penyelenggara
Pemilu, berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Ada
ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi Penyelenggara Pemilu di
provinsi yang bersifat khusus atau bersifat istimewa sepanjang tidak diatur
lain dalam undang-undang tersendiri.
Sehingga,
Apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan Bawaslu Provinsi atau Panwaslu
Kabupaten/Kota tidak dapat menjalankan tugasnya, tahapan pengawasan penyelenggaraan
Pemilu untuk sementara dilaksanakan oleh Bawaslu atau Bawaslu Provinsi.
|
IX
|
Ketentuan
Peralihan
|
Pada
bab ini membahas mengenai masa kerja anggota KPU dan anggota bawaslu pada
saat bekerja dan masa berakhirnya. Tetapi, proses peralihan ini dilakukan
oleh secretariat jendral KPU dengan terlebih dahulu memberikan penawaran
untuk memilih kepada para pegawai yang bersangkutan serta berkoordinasi
dengan Pemerintah Daerah.
|
X
|
Ketentuan
Penutup
|
Pada
bab ketentuan penutup ini terdapat Undang-Undang yang mulai berlaku dari
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini. Namun, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
|
Analisis
Point yang Krusial, meliputi :
Ø Kuatnya
peran partai politik dan DPR dalam pemilihan penyelenggara pemilihan umum.
1. adanya
persyaratan yang membolehkan anggota parpol mencalonkan diri sebagai
penyelenggara pemilu. Syarat ini menjadi ”parasit” untuk terbentuknya
penyelenggara pemilu yang independen.
2. memberi
ruang bagi DPR menolak calon yang disampaikan oleh panitia seleksi.
Revisi
UU Pelanggaran Administrasi Pemilu
Panitia Kerja (Panja) Revisi UU Pemilu sudah
mencapai kata sepakat tentang revisi ketentuan hukum mengenai penyelesaian
pelanggaran administrasi pemilu yang pernah diterapkan pada Pemilu Legislatif
2009. Panja tersebut bekerja untuk melakukan revisi tehadap UU No 10/2008
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pileg) yang pernah dipakai dasar hukum untuk
Pileg 2009.
Masalah tersebut mencakup tiga hal, yakni: pertama,
tidak adanya jaminan hukum terhadap tindakan, prosedur, dan keputusan terkait
proses pemilu. Ini terlihat dari banyaknya persoalan penyelenggaraan akibat
sengketa dan ketidakjelasan pengaturan. Kedua, sistem yang dirancang tidak
mampu memberikan perlindungan dan bahkan tidak mampu memulihkan hak elektoral
yang terlanggar. Ketiga, tidak tersedianya ruang yang memadai bagi warga negara
(pemilih) untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan mendapatkan
putusan yang adil dalam hal terlanggarnya hak elektoral. Persoalan terbesarnya
adalah ketidaksesuaian kerangka hukum pemilu dengan paradigma keadilan pemilu.
Hal tersebut seharusnya menjadi perhatian Panitia
Khusus (Pansus) RUU Pemilu. Sayangnya, Pansus seperti kurang tertarik untuk
membahas persoalan penegakan hukum pemilu. Perdebatan RUU Pemilu lebih terpusat
pada masalah ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Persoalan seperti
penegakan hukum pemilu tidak banyak menarik perhatian, meskipun muncul banyak
persoalan. RUU Pemilu yang ada saat ini sangat minimalis mengatur penataan
keadilan pemilu. Padahal, Pasal 73 ayat (5) UU No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu, antara lain menyatakan bahwa tata cara dan mekanisme
penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu dan sengketa pemilu diatur dalam
undang-undang yang mengatur pemilu.
Oleh karena itu, Pansus harus memberikan perhatian
lebih terhadap prinsip pemenuhan keadilan pemilu, yaitu bagaimana menyusun
kerangka hukum pemilu yang ramah terhadap pemilih, yang mampu mengembalikan hak
elektoral warga negara jika terlanggar. Pansus RUU Pemilu harus memberikan
perhatian dan melakukan pembahasan tentang penegakan hukum pemilu, untuk
menciptakan sistem keadilan pemilu yang berorientasi terhadap pemenuhan dan
melindungi hak elektoral dari setiap pelanggaran dan kecurangan.
Kelemahan
UU No 10/2008
Pelanggaran pemliu menurut UU No 10/2008 dibagi
menjadi dua jenis, yakni pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana.
Dengan demikian tata cara penyelesaian terhadap dua jenis pelanggaran pemilu
tersebut juga berbeda. Temuan pelanggaran pidana pemilu yang dihimpun Bawaslu,
Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota mekanisme penyelesaiannya
diserahkan kepada kepolisian. Sedangkan temuan mengenai pelanggaran
administrasi pemilu diselesaikan oleh KPU dan jajarannya di KPUD Provinsi atau
KPUD Kabupaten/Kota.
Ketentuan mengenai penyelesaian pelanggaran
administrasi pemilu ini terasa tidak tepat. Sebab, KPU dan jajaran merupakan
lembaga yang diberi wewenang untuk mengeluarkan peraturan pelaksanaan pemilu,
menjadi pelaksana pemilu, tetapi juga diserahi tugas untuk menyelesaikan
pelanggaran pemilu. Padah sebagai pelaksana pemilu, KPU dan jajarannya sangat
berpotensi menjadi pelaku pelanggaran administrasi pemilu. Sehingga sangat
tidak logis apabila sebagai pelaksana pemilu yang juga berpotensi menjadi
pelaku pelanggaran pemilu harus pula diberi wewenang untuk mengadili
pelanggaran pemilu.
Kelemahan pengaturan penyelesaian pelanggaran
administrasi pemilu itu nampak dalam konstruksi UU No 10/2008 khususnya dalam
pasal 247 ayat 8, pasal 248, pasal 249, pasal 250, dan Peraturan KPU Nomor 44
Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi
Pemilu.
·
Pertama,
pelanggaran administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu
dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU.
·
Kedua,
laporan pelanggaran administrasi Pemilu (yang diterima Bawaslu, Panwaslu)
diteruskan kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
·
Ketiga,
pasal 249 menyebetukan bahwa pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berdasarkan laporan dari Bawaslu,
Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatannya.
·
Keempat,
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus pelanggaran
administrasi Pemilu dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
laporan dari Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota.
·
Kelima,
ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi
Pemilu diatur dalam Peraturan KPU.
Dari sederet kelemahan dan argumentasi tersebut maka
publik pasti mendukung upaya revisi pengaturan penyelesaian pelanggaran
administrasi pemilu sebagaimana diatur dalam UU No 10/2008 yang saat ini
digodok Pansus RUU Pemilu.
Dua
Opsi Penyelesaian Ideal
Yang paling ideal untuk pengaturan penyelesaikan
pelanggaran administrasi pemilu, dapat ditempuh dengan dua opsi, yaitu :
Pertama,
penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu diselesaikan secara tuntas oleh
Bawaslu, Panwas Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota. Artinya, Bawaslu, Panwaslu
Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota diberi wewenang penuh untuk memutuskan
mengenai penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu, tidak terbatas hanya kewenangan
mediasi.
Kedua,
perlu dibentuk Lembaga Peradilan Khusus
Pemilu (LPKP) bersifat ad hoc yang bernaung dibawah peradilan umum. LPKP diberi
kewenangan menyelesaikan pelanggaran pemilu (pelanggaran administrasi dan
pelanggaran pidana) baik untuk Pileg, Pilpres, dan Pemilukada.
Pendapat 4 permasalahan :
Pendapat partai politik mengenai perumusan revisi UU
No 10 tahun 2008 tentang pemilu hendaknya didasarkan atas pertimbangan
menyeluruh. Ada empat pertimbangan yang
mengakomodasi
kepentingan partai-partai politik. Yakni desain sistem politik ke depan harus
jangka panjang, tidak bisa jangka pendek. Juga harus mempertimbangkan platform
partai politik, strategi partai politik, serta konstruksi sosial politik.
Empat hal tersebut harus bisa diimplementasikan oleh
partai politik dan tidak boleh saling bertabrakan. Setiap partai memiliki sikap
berbeda-beda, termasuk pada revisi UU Pemilu.
-
Ada partai
politik yang mengutamakan idealisme, ada partai politik yang mengklaim inklusif
kebinekaan, ada partai politik yang mengusulkan parliamentary threshold (ambang
batas perolehan kursi di parlemen) lima persen. Namun, ada juga partai politik
yang menyuarakan Pancasila, tapi justru membunuh kebhinnekaan dengan
mengusulkan parliamentary threshold lima persen. Partai politik tersebut
berdalih untuk melakukan efisiensi kinerja di parlemen, yang justru akan
merusak keragaman yang ada selama ini.
-
Perubahan
sistem pemilu, Berbeda dengan partai politik, Centre for Electoral Reform
mengusulkan sembilan pasal yangterdapat dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilu, direvisi. Usulan itu berkaitan dengan tawaran Cetro tentang
sistem pemilihan yang jauh lebih sederhana, yakni sistem Mixed Member
Proportional (MMP) atau proporsional campuran.
Sistem ini berupaya
memadukan kelebihan sistem proporsional dan sistem mayoritarian. Calon
dinominasikan melalui dua jalur, yakni jalur distrik dan jalur daftar. Sistem
pemilu yang diterapkan pada 2009, dianggap sangat rumit, dan rawan terhadap
hilangnya suara pemilih.
-
Alokasi kursi
di tiap daerah (dapil), Dalam sistem proporsional campuran, tata cara pemilih
dalam memberikan suara akan sama seperti halnya pemilu 2009. Selain memilih
partai, pemilih juga tetap memilih calon legislatif. Hanya saja, luasan dapil
akan menjadi lebih sempit dibanding sekarang. Jika pada pemilu 2009, jumlah
seluruh daerah pemilihan di Indonesia sebanyak 77 daerah, maka dengan sistem
proporsional campuran, total daerah pemilihan bertambah hingga mencapai 280
daerah. Artinya, akan ada 280 calon anggota dewan yang berasal dari
masing-masing partai pemenang di tiap dapil. Sedangkan 280 orang sisanya akan
ditentukan berdasarkan nomor urut yang telah disusun partai peserta pemilu.
DPR telah mengesahkan Rencana Undang-Undang
(RUU) Perubahan atas
Undang-Undang (UU) No 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
melalui voting dalam rapat paripurna pada 12 April 2012 lalu. Sehubungan dengan
hal tersebut diatas, masih terdapat 4 (empat) masalah
yang dipandang para legislator sangat penting dan menjadi perdebatan, walaupun
kemudian diambil keputusan melalui voting.
4 (empat) permasalah itu
adalah sebagai berikut :
1. Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold).
2. Alokasi Kursi Di Setiap Daerah Pemilihan (Dapil)
3. Sistem Pemilu
4. Metode Penghitungan atau Konversi Suara Menjadi
Kursi Parlemen.
Melihat hasil voting
tentang masalah tersebut diatas, yakni menangnya alternatif parliamentary threshold sebesar 3,5%
yang berlaku secara nasional, alokasi kursi DPR sebanyak 3–10 per dapil
dan DPRD 3–12 kursi per dapil, sistem pemilu proporsional terbuka dan metode
penghitungan suara menjadi kursi dengan sistem kuota murni, itu berarti tidak
ada perubahan signifikan jika dibandingkan dengan pemilu 2009, kecuali hanya
satu perubahan yakni masalah parliamentary threshold.
Padahal, Pansus RUU
Pemilu dibentuk 4 Oktober 2011, hingga pengesahan RRU menjadi UU berarti sebuah
kerja Pansus yang relatif lama, yakni butuh waktu 6 (enam) bulan lebih,
dan tentu butuh dana yang besar, namun masih tidak menghasilkan output
perubahan yang signifikan dan nyaris tidak terdengar perdebatan bermutu yang
disampaikan para anggota DPR. Perdebatan yang ada hanyalah persoalan teknis
penyelenggaraan pemilu yang sepi dari subtansi dan para legislator tersebut
lebih berkonsentrasi bagaimana dengan Undang-Undang (UU) Pemilu partainya
memperoleh keuntungan, yaitu dengan cara memperoleh kursi sebanyak-banyaknya,
atau minimal lolos parliamentary threshold.
4 (empat)
hal tersebut seolah-olah menjadi persoalan yang amat penting, sehingga
butuh negosiasi yang alot dan melelahkan, kemudian tidak bisa dikompromikan
lagi, hingga akhirnya divoting. Padahal, sebenarnya 4 (empat) masalah tersebut
sama sekali tidak ada hubungan dengan persoalan bangsa dan rakyat. Peristiwa
ini semakin memberikan konfirmasi bahwa Partai Politik lebih peduli terhadap
kepentingan dirinya sendiri dan mengabaikan masalah bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar